SHNet, Jakarta-Peringatan hari bumi 22 April seringkali diabaikan, termasuk juga oleh kalangan penegak hukum termasuk advokat. Tidak banyak advokat maupun organisasi advokat yang menyerukan agar kita sebagai para penegak hukum dan para advokat ikut menjaga kelestarian bumi dan lingkungan hidup. Padahal, kita semua adalah penghuni dari bumi satu-satunya.
Bahkan tambah miris lagi, jika ada advokat yang membela mati-matian perusahaan yang jelas-jelas merusak lingkungan hidup demi keuntungan materi semata. Semestinya jangan sampai menjadi tameng bahwa seorang advokat “tidak boleh menolak klien”. Jika klien jelas-jelas dengan data, suara masyarakat dan hasil penelitian jelas-jelas merusak dan mencemari lingkungan hidup, namun tetap dibela membabi-buta agar lepas dari hukuman dengan putusan onslag, maka advokat yang semacam itu bukan saja merendahkan martabat profesi advokat, namun juga tidak peduli dengan masa depan lingkungan dan planet bumi yang kita huni ini.
Dua pengacara Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri yang ditangkap jaksa karena membela kliennya yang didakwa turut serta merusak lingkungan dan kelestarian bumi hanyalah salah satu contoh. Ada 4 (empat) orang hakim yang turut ditangkap karena diduga menerima suap sebesar Rp 60 miliar (enam puluh miliar). Suap menyuap itu dapat terjadi, tentu saja, karena ada kesepakatan kedua belah pihak. Jika sang advokat tidak mengiming-imingi materi kepada hakim, maka suap tak akan terjadi. Begitu juga jika hakim menolak tawaran serta iming-iming advokat maka suap menyuap juga tak akan terjadi.
Luthfi Yazid, Ketua Umum DePA-RI (Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia) –yang juga pernah menjadi Peneliti dan Pemimpin Redaksi Jurnal Hukum Lingkungan di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) serta pernah menangani kasus pro bono 5000 (lima ribu) kepala keluarga korban pencemaran sungai Ciujung, Serang, Banten oleh perusahaan di sepanjang sungai pada tahun awal 90-an (sembilan puluh)–, meminta kepada pengurus dan anggotanya untuk menaruh kepedulian kepada pelestarian bumi dan kelangsungan lingkungan hidup, sebab persoalan lingkungan hidup merupakan masalah yang sangat serius untuk dicarikan pemecahannya.
Cara pandang sectoral sudah seharusnya ditinggalkan. Justru pendekatan yang komprehensif dan integratif harus dilakukan. Permasalahan lingkungan hidup dan kelestarian bumi sangat beragam yang membutuhkan komitmen bersama dari pemerintah, penguasa, pengusaha, masyarakat, kalangan profesional, perguruan tinggi dan juga organisasi advokat.
Masalah pencemaran lingkungan, perusakan hutan, punahnya berbagai spesies, keanekaragaman hayati adalah masalah yang serius. Masalah pemanasan global, perubahan iklim dan ozone depletion juga sudah menjadi keprihatinan dunia. Berbagai perhelatan internasional sejak tahun 1970 sudah diadakan seperti di Stockholm, the Earth Summit Rio De Janeiro tahun 1992, pertemuan internasional di Kenya, Kyoto, Bali dan sebagainya sudah dilaksanakan. Berbagai konvensi internasional juga sudah dilahirkan. Eksekusi semua itu membutuhkan komitmen dan aksi bersama termasuk dari kalangan advokat.
Menurut Ketua Umum DePA-RI yang juga alumni sebuah jaringan global, yakni Leadership for Environment and Development (LEAD Program) di New York ini kepedulian bersama dan cara pandang yang holistic merupakan suatu keharusan. Dalam program LEAD yang diikuti selama 2 (dua) tahun dengan peserta dari berbagai negara seperti China, India, Indonesia, Canada, Pakistan, Nigeria, Rusia, Mexico dan Brazil itu, telah diajarkan untuk melihat persoalan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan cara pandang yang luas. Baik dari segi ekonomi, politik, sosial, agama, filsafat, hukum lingkungan dan sebagainya.
Inilah saatnya untuk mengukuhkan kembali komitmen kita terhadap pelestarian bumi dan lingkungan hidup. Meminjam perumpamaan legenda lingkungan hidup Indonesia – Emil Salim—seperti memasukkan gula ke dalam teh atau kopi. Maka unsur lingkungan hidup itulah ibaratkan gula. Artinya mengintegrasikan aspek lingkungan hidup ke dalam semua kebijakan negara. Dan yang penting adalah implementasi atau eksekusinya. Sebab itu Ketua Umum DePA-RI menghimbau kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk memastikan Satgas Penerbitan Kawasan Hutan (PKH) yang lahir lewat Perpres No. 5 Tahun 2025 beserta upaya – upaya pelestarian bumi dan lingkungan hidup lainnya haruslah dijalankan dengan konsisten, konsekuen, dan berkeadilan ekologis.
Selain itu, harus juga bersikap tegas kepada siapapun dan kepada perusahaan apa pun yang memiliki keserakahan ekologis, yang merusak hutan dan lingkungan hidup kita. Sebab seperti yang dikatakan oleh Garreth Hardin dalam The Tragedy of the Common (1968) bahwa bumi dan lingkungan hidup ini, bukan hanya untuk keadilan generasi sekarang saja, namun untuk generasi mendatang (intergenerational justice). Dalam perkembangan dunia global yang tidak menentu ini (uncertain) kesadaran kolektif tentang urgensi pelestarian bumi dan lingkungan hidup adalah keniscayaan. (sur)