SHNet, Jakarta -Seperti helai benang halus yang ditenun pelan-pelan menjadi kain persahabatan, kolaborasi antara Lions Clubs International MD307A1, Tievel Unity Indonesia Foundation, dan TBM Bukit Duri Bercerita telah melahirkan sebuah karya nyata yang bukan hanya membentuk pengalaman, tapi juga meninggalkan jejak budaya yang tak lekang oleh waktu. Bertempat di Museum Kebangkitan Nasional—gedung bersejarah yang menyimpan denyut awal kesadaran bangsa—kegiatan seni budaya lintas generasi dan lintas negara ini berlangsung meriah pada Minggu pagi, 27 April 2025.
Dalam filosofi Jepang, dikenal prinsip ichigo ichie—“sekali bertemu, selamanya bermakna”. Itulah semangat yang terasa selama kegiatan berlangsung. Sekitar 70 anak dari berbagai komunitas membaca dan sekolah dasar diajak masuk ke dalam dunia seni rupa dan budaya dengan cara yang hidup, hangat, dan membumi.

Lukisan dengan Arang dan Jiwa
Salah satu pengalaman yang paling mengesankan adalah ketika anak-anak belajar melukis menggunakan media tradisional Jepang: kuas dari bulu alami, tinta dari arang kayu, dan kertas dari serat tumbuhan. Material ini dibawa langsung dari Jepang oleh Miss Tamae Ishiyama dari Tokyo Tap Art Studio. Dengan ketekunan dan kelembutan khas Jepang, Miss Tamae membimbing anak-anak melukis, bukan sekadar dengan tangan, tetapi dengan hati. Seperti filosofi shodō—seni kaligrafi Jepang—setiap goresan adalah cerminan dari jiwa.
Anak-anak pun antusias, tak hanya meniru teknik, tapi juga mengejar keindahan batin dari karya yang mereka buat. “Bagaimana supaya gambarku lebih hidup, sensei?” tanya salah satu anak. Momen-momen kecil itu menjadi pelajaran besar bahwa seni adalah ruang bermain jiwa dan wadah dialog tanpa kata.
Origami: Melipat Imajinasi, Menanam Ketekunan
Usai melukis, anak-anak diajak menyelami seni origami, sebuah praktik melipat kertas yang menyimpan filosofi kesabaran dan keharmonisan. Di bawah arahan Miss Haruna dan Apin Supinah, kertas-kertas persegi itu berubah menjadi burung, bunga, dan bintang—lambang harapan dan keindahan yang tumbuh dari tangan-tangan kecil penuh imajinasi. Seperti kata pepatah Jepang, “Tanpa ketekunan, bahkan bulu tak akan terbang”—anak-anak diajarkan bahwa keindahan muncul dari proses yang penuh perhatian dan kesungguhan.
Lomba Lukis: Harmoni Nusantara dan Negeri Sakura
Di ruang lain yang lapang dan sejuk, lomba lukis untuk anak-anak SD se-DKI berlangsung penuh semangat. Dengan tema “Harmoni Nusantara dan Negeri Sakura”, para peserta mengangkat kisah tentang kerukunan budaya, persahabatan lintas samudera, dan keindahan dua negeri lewat warna-warni cat air dan cat minyak. Dalam dua jam, kanvas-kanvas putih menjelma menjadi narasi visual yang memesona.
Karya-karya itu bukan sekadar gambar, tapi seperti haiku dalam warna—singkat, dalam, dan menyentuh. Para juara pun diumumkan hari itu juga, menerima sertifikat dan hadiah sebagai bentuk apresiasi, namun yang paling berharga adalah kebanggaan dan senyum yang mereka bawa pulang.

Pameran, Fashion Show, dan Cosplay
Pameran lukisan dua negara pun menambah kekayaan visual dan dialog budaya. Di antara karya-karya seniman Indonesia dan Jepang, digelar pula fashion show kimono dan kebaya—dua busana yang menyimbolkan keanggunan timur dalam versi berbeda namun sama-sama memikat. Para peragawan-peragawati dari kedua bangsa melangkah tenang dalam irama harmoni lintas budaya.
Hadir pula para cosplayer bergaya Jepang yang membawa kegembiraan tersendiri bagi anak-anak. Banyak yang mengabadikan momen bersama karakter favorit mereka, menambah warna ceria dalam ruang museum yang semula sunyi kini menjadi hidup.
Menyusuri Sejarah, Menyentuh Akar Kebangkitan
Kegiatan budaya ini tak lengkap tanpa menyusuri sejarah di Museum Kebangkitan Nasional—bekas kampus STOVIA, tempat Budi Utomo lahir dan para calon dokter pribumi dahulu menimba ilmu. Anak-anak berjalan dari ruang praktik anatomi hingga ke asrama mahasiswa, menyentuh kasur tua, melihat tengkorak manusia asli, hingga duduk di antara patung mahasiswa dan dosen yang seakan masih mengajarkan pelajaran zaman lampau.
Film dokumenter tentang dr. Marie Thomas—dokter wanita pertama Indonesia—ditayangkan untuk memperkenalkan mereka pada sosok inspiratif yang mengubah sejarah. Semuanya menjadi bagian dari pelajaran hidup yang tak bisa diajarkan lewat buku pelajaran semata.
Menanam Benih Kebudayaan dan Empati
Ketua Panitia Penyelenggara, Lion Moriza mengatakan, melalui seni, kita belajar merangkul perbedaan. Melalui budaya, kita belajar mencintai tanpa syarat. Dan melalui anak-anak, kita mewariskan harapan bahwa dunia esok akan lebih indah, karena mereka pernah belajar melukis, melipat, dan mendengar—dengan hati.
Lion Ricky dari Lions Club Jakarta Wardaya 70 menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah bentuk nyata dari semangat #WeServe—melayani dengan hati dan bersama-sama. Kegiatan seni dan budaya ini bukan sekadar kegiatan seremonial, tapi menjadi pengalaman batin yang membekas dan membentuk. “Ini bukan tentang melukis atau melipat kertas semata, ini tentang mempertemukan dua bangsa lewat tangan-tangan kecil yang jujur dan penuh semangat,” ujarnya.
Safrudiningsih, pendiri TBM Bukit Duri Bercerita, menambahkan, “Anak-anak tidak hanya belajar seni, tapi juga menyentuh langsung akar budaya Jepang dan sejarah bangsanya sendiri. Ini pengalaman langka dan akan mereka kenang selamanya.” (sur)