Ketidakadilan Tarif Ala Trump: Tarif Timbal Balik Yang Tidak Timbal Balik

3 weeks ago 26

Oleh: Dr. Aswin Rivai,SE.,MM

Presiden Trump meluncurkan daftar tarif timbal balik baru yang telah lama dijanjikannya dalam sebuah upacara di luar Gedung Putih pada 2 April. Setiap negara dikenai tarif baru, dimulai dari 10% dan meningkat hingga 50% bagi puluhan negara, yang terutama merugikan negara-negara kecil dan berkembang. Langkah ini, yang bisa disebut sebagai bentuk menyakiti diri sendiri oleh Amerika Serikat, segera memicu gejolak pasar dan kekhawatiran besar, baik di dalam negeri maupun di antara mitra dagang AS.

Trump menyebut tanggal 2 April sebagai “Hari Pembebasan” dan mengadakan upacara di Taman Mawar Gedung Putih untuk mengumumkan daftar barang dari seluruh dunia yang akan dikenai tarif impor lebih tinggi ke AS.

Pada akhirnya, setiap negara dikenai tarif baru yang lebih tinggi. Mulai 5 April, setiap produk dari setiap penjuru dunia akan dikenai tambahan tarif 10% oleh AS. Tarif ini dibayar oleh importir di AS, bukan oleh eksportir, sehingga dampaknya akan langsung terasa pada pelaku usaha dan konsumen Amerika.

Namun, Trump belum selesai. Sekitar 60 negara dikenai tarif “timbal balik” yang lebih tinggi mulai 9 April. Dalam banyak kasus, tarif ini cukup besar. Banyak negara Asia, seperti Vietnam, Kamboja, dan Laos, dikenai tarif hampir 50%. Angka-angka ini didasarkan pada penilaian sepihak oleh tim Trump tentang seberapa “tidak adil” negara-negara tersebut terhadap AS.

Trump telah lama mengatakan bahwa ia menginginkan “perlakuan timbal balik” — jika mitra dagang mengenakan tarif tinggi, maka AS juga akan membalas dengan tarif serupa. Selain itu, AS juga akan menambahkan tarif ekstra jika negara mitra menerapkan praktik yang dianggap “tidak adil,” seperti pajak pertambahan nilai (VAT), subsidi, manipulasi mata uang, atau hambatan non-tarif lainnya.

Namun, tarif yang diumumkan Trump di Taman Mawar tidak mencerminkan janji tersebut. Alih-alih mencocokkan tarif dengan mitra dagang, AS menggunakan rumus yang membagi neraca perdagangan bilateral dengan total perdagangan, lalu dibagi dua agar AS “terlihat murah hati.”Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) kemudian merilis rumus formal untuk “membenarkan” hasil tersebut. Semua negara tetap dikenai tarif dasar 10%. Jika perhitungan berdasarkan rumus tadi tidak mencapai angka tertentu, negara tersebut tetap berada pada kategori 10%. Ini sangat merugikan ekonomi kecil. Contohnya, wilayah Prancis Saint Pierre dan Miquelon (dekat Kanada), dengan populasi kurang dari 5.000 orang, dikenai tarif 50%.

Pada 2024, AS mengimpor ikan senilai $3,4 juta dari sana dan hanya mengekspor $100.000. Berdasarkan perhitungan AS, ketidakseimbangan ini menghasilkan skor “ketidakadilan” sebesar 99%, yang diterjemahkan menjadi tarif 50%.
Hal serupa terjadi di Asia:
* Vietnam: tarif 46% (ekspor $136,6 miliar vs impor $13,1 miliar)
* Kamboja: 49%
* Laos: 48%
* Myanmar: 44%
* Thailand: 36%
* Indonesia: 32%
* Malaysia: 24%
Negara maju pun tak luput.
* Korea Selatan: 25%
* Jepang: 24%

Setelah acara, tarif beberapa negara disesuaikan lagi. 15 negara, termasuk India, Filipina, Myanmar, Thailand, dan Korea Selatan, ditambahkan 1%. Saint Pierre, Reunion, dan Pulau Norfolk diturunkan jadi 10% setelah mendapat ejekan internasional.Tarif-tarif ini bisa jauh lebih tinggi dari yang terlihat karena adanya “penumpukan” kebijakan sebelumnya. Misalnya, tarif 34% untuk Tiongkok bisa ditambahkan dengan:
* Tarif Section 301: hingga 25%
* Tarif baru 20% berdasarkan UU Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA)
* Tarif antidumping dan subsidi

Total tarif bisa melampaui 75% untuk barang-barang asal Tiongkok.
Selain itu, ada tarif Section 232 untuk:
* Baja & aluminium: 25%
* Mobil dan suku cadang mobil: 25%
* Sektor lain yang akan dikenai tarif ini: farmasi, kayu, mineral kritis, semikonduktor
Produk di sektor-sektor ini akan dikenakan tarif tambahan setelah peninjauan selesai.Intinya, kebijakan ini bukan tentang keadilan perdagangan. Singapura, misalnya, terkena tarif 10% meskipun:
* Memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS sejak 2004
* Tidak menerapkan tarif pada hampir semua mitra dagang
* Memiliki ekonomi terbuka yang bergantung pada perdagangan

Layanan dan investasi bahkan tidak dihitung dalam rumus Trump. Singapura hanya “terjebak” dalam perhitungan kasar yang menganggap semua negara pasti tidak adil terhadap AS.Karena tarif ini hanya didasarkan pada neraca perdagangan tahun 2024, tidak ada insentif bagi negara lain untuk berunding. Tawaran keringanan atau akses tambahan bagi produk AS tidak berdampak.

Bahkan dalam Perintah Eksekutif Trump, tercantum bahwa negara yang membalas tarif akan dikenai penalti lebih tinggi secara sepihak.

Meskipun kebijakan ini sangat tidak jelas, beberapa negara kemungkinan akan tetap mencoba bernegosiasi. Negara dengan ketergantungan tinggi pada pasar AS mungkin akan mencari kesepakatan untuk menurunkan tarif. Namun, Uni Eropa (dikenai tarif 20%) sudah menyatakan akan membalas.

Pasar global bereaksi negatif. Banyak pelaku pasar mengira Trump hanya menggertak untuk dapat tawar-menawar, bukan benar-benar menjalankan kebijakan seperti ini. Lebih buruk lagi, prosesnya kacau: beberapa negara dimasukkan hanya karena alamat domain internet (contohnya, Pulau Heard dan McDonald di Antartika yang tak berpenghuni, ikut dikenai tarif).

Trump membangun reputasinya dengan tidak pernah mengakui kesalahan. Ia berharap “Hari Pembebasan” disambut sorak-sorai, tapi kenyataannya justru berbalik menjadi kritik keras. Mulai minggu depan, tarif ini akan menaikkan harga barang di AS rata-rata 22%. Dampaknya terhadap konsumen dan dunia usaha akan semakin terasa.Dengan guncangan sistemik sebesar ini, di minggu di mana AS secara terang-terangan berpaling dari sistem perdagangan multilateral yang pernah dipimpinnya sendiri, pola globalisasi baru akan terbentuk. Negara-negara lain akan merespons dengan cara yang tak dapat diprediksi oleh tim Trump. Perdagangan global akan terguncang hingga ke fondasinya untuk waktu yang lama.

Penulis, Dr. Aswin Rivai, SE.,MM, Pemerhati Ekonomi Dan Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta

Read Entire Article
Kendari home | Bali home | Sinar Harapan